Zaman Baru, Kebijakan Lama: Saatnya Evaluasi Arsitektur Ekonomi Indonesia
Pernyataan terbuka Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, soal kebijakan moneter dan fiskal yang dinilai terlalu menahan suplai uang, menjadi bahan diskusi hangat di berbagai kalangan. Bagi sebagian, ini merupakan kritik jujur yang langka dari pejabat setingkat beliau. Namun yang lebih penting bukan sekadar “mengapa bisa begini?”, melainkan “mengapa kebijakan bisa terbentuk seperti ini?”
Bukan Soal Tidak Tahu, Tapi Soal Terikat Aturan
Banyak yang bertanya: jika memang likuiditas adalah masalah, mengapa sejak dulu pemerintah tidak menempatkan dananya di bank umum untuk mendorong pertumbuhan? Apakah Menteri Keuangan sebelumnya tidak menyadarinya?
Jawabannya bukan karena tidak tahu, tapi karena terikat mandat dan struktur hukum. Bank Indonesia (BI) terikat pada stabilitas rupiah, Kemenkeu terikat pada disiplin fiskal dan defisit, dan masing-masing lembaga ini bekerja sesuai kerangka hukum yang sudah ada sejak awal 2000-an.
BI misalnya, sejak 2005 menggunakan kerangka Inflation Targeting Framework (ITF) yang kini menjadi flexible ITF. Kemenkeu pun dibatasi oleh UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara yang lahir pasca krisis Asia, saat trauma inflasi dan pengaruh IMF masih kuat.
Kerangka Lama, Dunia Baru
Masalahnya, kerangka ini dibentuk di era berbeda—saat dunia sedang menikmati euforia globalisasi dan inflasi disebabkan permintaan tinggi. Namun kini, kita hidup di era penuh supply shock: pandemi, perang, krisis iklim, disrupsi teknologi, hingga fragmentasi rantai pasok.
Shock-shock ini menyebabkan inflasi naik bukan karena permintaan tinggi, tapi karena pasokan terganggu. Jika BI tetap terpaku pada target inflasi, dan fiskal menahan belanja karena defisit, maka penyesuaian justru dilakukan dengan menekan output lebih jauh—bukan menyelesaikan sumber masalah.
Suku bunga naik, kredit tersendat, permintaan turun, dan ekonomi terjebak dalam negative output gap yang panjang. Semua dilakukan demi menjaga target inflasi yang sumbernya justru bukan dari sisi permintaan.
Teknologi dan Efek Jangka Panjang Supply Shock
Kemajuan teknologi juga memperlemah hubungan klasik antara output dan inflasi. Otomatisasi dan model bisnis digital membuat pasar tenaga kerja lebih kaku. Bahkan jika output turun, upah dan harga tidak turun secepat dulu.
Literatur terbaru seperti Fornaro (2023), Billi (2020), dan IMF WP (2025) menyoroti bahwa respons moneter yang terlalu keras terhadap supply shock bisa meninggalkan luka permanen: investasi tertunda, produktivitas menurun, dan ekonomi kehilangan momentum.
Indonesia: Double Squeeze
Kondisi di Indonesia lebih kompleks. Selain menjaga inflasi, BI juga menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dalam situasi gejolak global, BI terpaksa menaikkan suku bunga atau menerbitkan SRBI (yang sifatnya kontraktif) untuk menahan arus modal keluar. Akibatnya, suplai uang terpangkas, pertumbuhan tersendat.
Fiskal yang tetap menahan defisit makin memperparah situasi. Akhirnya, kita mengalami double squeeze: suplai terganggu, moneter kontraktif, fiskal menahan diri. Momentum pertumbuhan pun hilang, permintaan kelas menengah merosot, dan serapan anggaran lambat.
Kita bisa saja bangga telah menjaga stabilitas. Tapi stabilitas yang diraih dengan mengorbankan pertumbuhan justru menjadi ironi. Institusi berhasil menjalankan mandat, namun ekonomi tetap lesu.
Saatnya Koreksi Kebijakan: Dari Mandat ke Arah Baru
Solusinya bukan menyalahkan lembaga, tapi mengoreksi arsitektur hukumnya. Beberapa poin penting:
-
UU BI: Saatnya mengkaji ulang mandat tunggal BI. Tetap independen, tapi dengan mandat ganda: menjaga inflasi dan mendukung pertumbuhan berkelanjutan.
-
UU Keuangan Negara: Dulu lahir untuk menjamin disiplin. Kini perlu ruang untuk kebijakan fiskal yang lebih fleksibel dan counter-cyclical, terutama dalam menghadapi shock yang tidak normal.
-
Koordinasi Kebijakan: KSSK perlu bergerak dari crisis response menuju macro coordination, untuk menyatukan arah moneter, fiskal, dan sektor keuangan.
Dunia Sudah Berubah—Indonesia Juga Harus
Banyak negara telah merespons perubahan ini. AS mengadopsi Flexible Average Inflation Targeting, Jepang menjalankan Yield Curve Control, IMF mendorong Integrated Policy Framework (IPF). India kini lebih fleksibel dalam menghadapi inflasi berbasis supply shock, dan akademisinya aktif mengkritisi pendekatan konvensional.
Indonesia tidak boleh ketinggalan. Untuk itu, beberapa prinsip kebijakan perlu dipertimbangkan:
-
Respons moneter harus kontekstual, terutama terhadap inflasi yang bersumber dari sisi pasokan.
-
Fiskal harus jadi penyeimbang, bukan penonton. Ketika moneter mengetat, fiskal harus memperkuat permintaan.
-
Mandat moneter perlu ruang interpretasi, terutama untuk melihat inflasi sementara sebagai fenomena yang bisa dilalui, bukan diberangus habis-habisan.
-
Koordinasi dan integrasi kebijakan jangka panjang antara moneter-fiskal-sektor keuangan perlu dilembagakan secara strategis, bukan hanya saat krisis.
Penutup: Bangsa Ini Butuh Lebih dari Stabilitas
Bangsa ini sudah berhasil melewati banyak krisis dengan menjaga stabilitas. Namun zaman telah berubah. Jika hukum lama lahir dari trauma, maka hukum baru harus lahir dari keberanian.
Kita tidak bisa hanya puas dengan stabilitas. Yang dibutuhkan adalah pertumbuhan yang nyata, pekerjaan yang bermakna, dan sistem keuangan yang melayani rakyat, bukan hanya menenangkan pasar.
Sudah saatnya kita tidak sekadar menjaga inflasi dan defisit, tapi juga memastikan ekonomi tumbuh dengan sehat, inklusif, dan berdaya tahan.