Gelombang unjuk rasa yang sempat mengguncang Indonesia pada Agustus lalu kini disebut-sebut turut memicu aksi protes besar-besaran di Nepal, yang berujung kerusuhan dan jatuhnya korban jiwa. Kedua gerakan ini dinilai memiliki sejumlah kemiripan signifikan dalam pola, aktor penggerak, hingga respons pemerintah.
Sanjeev Sanyal, penasihat ekonomi untuk Perdana Menteri India Narendra Modi, adalah salah satu pejabat yang menyoroti kemiripan mencolok dari kedua gerakan ini. Dalam pernyataannya di platform X (sebelumnya Twitter), ia mengungkapkan bahwa pola gerakan massa yang terjadi di Nepal tampak mengulang pola yang telah lebih dulu terjadi di beberapa negara Asia Selatan, termasuk Indonesia.
Menurut laporan dari The Himalayan Times (Kamis, 11 September 2025), kemarahan massa di Nepal tidak hanya menyasar kantor-kantor pemerintahan, tapi juga rumah para tokoh politik ternama, termasuk milik pemimpin Partai Nepali Congress, Sher Bahadur Deuba. Bahkan, rumah pribadi Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli ikut dibakar, dan situasi yang kian memanas mendorongnya untuk mundur dari jabatannya.
Sementara itu, The Kathmandu Post mencatat bahwa sejumlah pejabat tinggi menjadi target serangan massa, termasuk Menteri Komunikasi Prithvi Subba Gurung, Menteri Keuangan sekaligus Wakil PM Bishnu Paudel, Gubernur Bank Sentral Biswo Paudel, dan eks Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak.
1. Pemicu Aksi: Ketidakpuasan terhadap Elite Politik
-
Di Indonesia, pemantik awal demonstrasi adalah kucuran dana tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR, yang dipandang tidak sensitif di tengah tekanan ekonomi rakyat.
-
Sementara di Nepal, pemicu awal adalah kebijakan kontroversial yang melarang akses ke media sosial—dipandang publik sebagai bentuk represi terhadap kebebasan berpendapat.
Kedua kasus bermula dari kebijakan yang dianggap mencerminkan ketimpangan antara penguasa dan rakyat biasa.
2. Evolusi Tuntutan: Dari Satu Isu ke Gerakan Anti-Elite
-
Tuntutan massa di Indonesia berkembang dari penolakan tunjangan menjadi gerakan yang lebih luas, termasuk penolakan terhadap oligarki, korupsi, hingga sistem outsourcing.
-
Di Nepal, aksi protes berubah dari reaksi atas pelarangan media sosial menjadi desakan besar-besaran untuk reformasi menyeluruh dan pengunduran diri semua pejabat tinggi.
Kedua gerakan menunjukkan bagaimana keresahan publik bisa dengan cepat berubah menjadi gerakan perlawanan terhadap seluruh sistem kekuasaan.
3. Gen-Z Jadi Garda Terdepan
-
Di Indonesia, mahasiswa, pelajar, hingga seniman muda menjadi ujung tombak gerakan. Mereka didukung elemen buruh dan komunitas kreatif.
-
Di Nepal, generasi muda juga berperan besar, terutama dalam memanfaatkan media sosial untuk memobilisasi massa sebelum platform-platform tersebut diblokir sementara.
Generasi muda di kedua negara membuktikan peran sentral mereka dalam membentuk arah perubahan sosial-politik.
4. Simbol Perlawanan: One Piece
-
Di Indonesia, simbol dari animasi One Piece digunakan luas oleh para demonstran sebagai lambang perlawanan terhadap elite.
-
Hal serupa terlihat di Nepal, di mana simbol yang sama diangkat sebagai ikon gerakan, dipadukan dengan atribut nasionalis seperti bendera dan slogan patriotik.
Pemilihan simbol pop culture seperti One Piece menunjukkan kecerdasan visual dan budaya dari gerakan massa yang digerakkan kaum muda.
5. Tanggapan Pemerintah: Gabungan Negosiasi dan Kekuatan Militer
-
Presiden Prabowo Subianto merespons aksi di Indonesia dengan langkah korektif seperti membatalkan tunjangan DPR, melakukan perombakan kabinet, dan menurunkan aparat ke jalan.
-
Di Nepal, PM Oli sempat menggelar pertemuan lintas partai dan mengajak dialog, sambil tetap mengerahkan pasukan untuk mengamankan infrastruktur penting.
Kedua pemerintahan menanggapi gejolak dengan pendekatan campuran: meredakan keresahan melalui kebijakan serta menegakkan kontrol dengan kekuatan keamanan.
Kesimpulan: Gerakan Serupa, Konteks Berbeda
Meski terjadi di negara berbeda, aksi-aksi protes ini memperlihatkan pola yang mirip—berawal dari kebijakan yang tidak populer, meluas menjadi tuntutan perubahan struktural, dan dipimpin oleh generasi muda yang memanfaatkan simbol budaya untuk memperkuat identitas gerakan. Situasi ini menunjukkan bahwa gelombang ketidakpuasan publik terhadap elite politik kini bersifat lintas batas dan bisa menyebar cepat, terutama di era digital saat ini.