Wakil Ketua Komisi VI DPR RI sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN), Eko Patrio, angkat bicara menanggapi kritik publik atas aksinya berjoget dalam Sidang Tahunan MPR RI serta video parodi bertema “sound horeg” yang belakangan viral di media sosial.
Eko menjelaskan bahwa video parodi yang memperlihatkan dirinya menjadi DJ dalam acara internal PAN bukanlah bentuk ketidaksensitifan terhadap kondisi masyarakat. Menurutnya, video tersebut diambil dalam acara pembubaran panitia perayaan Hari Kemerdekaan ke-80 RI di lingkungan partainya.
“Itu adalah acara internal, pembubaran panitia 17 Agustusan yang telah bekerja selama hampir satu bulan. Tapi kemudian dipotong dan dibuat seolah-olah saya tidak sensitif terhadap permasalahan yang ada,” ujar Eko dikutip dari detikcom, Senin (25/8).
Sebelumnya, Eko juga menjadi sorotan setelah terekam kamera turut berjoget bersama sejumlah anggota DPR RI dalam penutupan Sidang Tahunan MPR RI pada Jumat (15/8). Aksi tersebut menuai kritik dari publik yang menilai tindakan itu tidak pantas, terlebih di tengah berbagai permasalahan sosial dan ekonomi yang sedang dihadapi masyarakat.
Menanggapi hal itu, Eko menyampaikan bahwa momen joget tersebut tidak terjadi saat sidang berlangsung, melainkan setelah Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
“Setelah pidato presiden selesai, ada sesi hiburan dari orkestra Symphony Praditya Wiratama Universitas Pertahanan. Mereka membawakan lagu-lagu daerah seperti Sajojo dan Gemu Fa Mi Re, dan kami spontan ikut bernyanyi dan bergoyang sebagai bentuk apresiasi atas penampilan mereka,” jelasnya.
Eko menegaskan bahwa tidak ada maksud merendahkan forum ataupun mengabaikan sensitivitas publik. Ia berharap masyarakat dapat melihat konteks sebenarnya dari kedua peristiwa tersebut.
Video yang memperlihatkan sejumlah anggota DPR RI berjoget dalam rangkaian acara Sidang Tahunan MPR RI itu sebelumnya viral dan menuai kritik tajam. Publik menyoroti gaya hidup anggota dewan yang dianggap tidak mencerminkan empati terhadap situasi rakyat, terlebih dengan gaji dan tunjangan yang dinilai tinggi.