Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto resmi dibebaskan dari tahanan setelah menerima amnesti dan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto pada 1 Agustus 2025. Keputusan ini memicu perdebatan publik dan kritik dari berbagai kalangan hukum.
Tom Lembong yang divonis 4,5 tahun penjara atas kasus impor gula kristal mentah, dan Hasto yang dijatuhi hukuman 3,5 tahun dalam kasus suap Harun Masiku, kini bebas berkat Keputusan Presiden yang juga mencantumkan 1.178 narapidana lain.
Pemerintah menyatakan langkah ini sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional untuk menciptakan stabilitas politik. Namun, kalangan pengamat hukum menyebut keputusan ini justru dapat mempermainkan hukum dan merusak kredibilitas upaya pemberantasan korupsi.
“Ini preseden buruk. Sepanjang sejarah, belum pernah terpidana korupsi mendapat amnesti atau abolisi,” ujar Yassar Aulia dari ICW.
Padahal, menurut pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas pada awal tahun, narapidana kasus korupsi dan terorisme tidak termasuk dalam daftar yang bisa menerima pengampunan. Namun kenyataannya, dua dari yang dibebaskan justru terlibat kasus korupsi.
Kritik juga datang dari Transparency International Indonesia (TII), yang menyebut keputusan ini prematur karena putusan Hasto belum inkracht dan Tom masih mengajukan banding.
“Kalau ini bentuk politisasi hukum, maka harus ada pertanggungjawaban siapa yang mengatur semua ini,” kata Sahel Muzammil dari TII.
Akademisi hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar dari UGM, menyebut penggunaan amnesti dan abolisi kali ini lebih bernuansa politis ketimbang semangat rekonsiliasi dan kemanusiaan sebagaimana mestinya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum UI, Sulistyowati Irianto, mengakui kemungkinan ada motif politik dalam penetapan status hukum kedua tokoh tersebut sejak awal, namun menegaskan bahwa alasan pemberian pengampunan ini harus dijelaskan secara transparan oleh Presiden.
Pascapembebasan, PDIP menyatakan dukungan terhadap pemerintah, menambah spekulasi bahwa keputusan ini memiliki dimensi politik yang kuat.
Peneliti ICW memperingatkan, langkah ini bisa menimbulkan efek domino: memberi jalan bagi koruptor lain untuk menuntut hal serupa dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.